Tonight I Can Write The Saddest Lines - by Pablo Neruda


Tonight I can write the saddest lines.

Write, for example, 'The night is starry and the stars are blue and shiver in the distance.'

The night wind revolves in the sky and sings.

Tonight I can write the saddest lines.
I loved her, and sometimes she loved me too.

Through nights like this one I held her in my arms.
I kissed her again and again under the endless sky.

She loved me, sometimes I loved her too.
How could one not have loved her great still eyes.

Tonight I can write the saddest lines.
To think that I do not have her. To feel that I have lost her.

To hear the immense night, still more immense without her.
And the verse falls to the soul like dew to the pasture.

What does it matter that my love could not keep her.
The night is starry and she is not with me.

This is all. In the distance someone is singing. In the distance.
My soul is not satisfied that it has lost her.

My sight tries to find her as though to bring her closer.
My heart looks for her, and she is not with me.

The same night whitening the same trees.
We, of that time, are no longer the same.

I no longer love her, that's certain, but how I loved her.
My voice tried to find the wind to touch her hearing.

Another's. She will be another's. As she was before my kisses.
Her voice, her bright body. Her infinite eyes.

I no longer love her, that's certain, but maybe I love her.
Love is so short, forgetting is so long.

Because through nights like this one I held her in my arms
my soul is not satisfied that it has lost her.

Though this be the last pain that she makes me suffer
and these the last verses that I write for her.

Translation by W. S. Merwin

Melihat Dari Sisi Yang Lain: Jokowi

Mungkinkah dua orang, tidak peduli bagaimana besar dedikasi dan kejujuran yang mereka curahkan, menyelamatkan kota dengan penduduk dua belas juta orang yang sudah bertahun-tahun terlihat dan berbau seperti bangkai busuk? Dapatkah mereka mereformasi sistem kapitalis biadab yang sudah memakan seluruh area perkotaan tersebut dan bahkan seluruh bagian dari negara ini; mampukah mereka menegur semua tokoh yang selama ini sudah tidak bermain secara jujur? Mungkinkah mereka dengan tiba-tiba menerapkan sistem ‘kapitalisme yang lebih manusiawi’?

Pada titik ini, kebanyakan warga Jakarta, sepertinya, siap untuk percaya pada dongeng apapun; kota mereka sudah berada sampai pada kondisi sangat mengerikan di mana sepertinya tidak ada situasi yang lebih buruk lagi daripada ini. 

Polusi, sampah, kebobrokan dan air yang terkontaminasi, begitu pula dengan jam-jam yang habis setiap harinya karena masalah transportasi – semua hal ini menjadi fakta yang berakibat pada kemampuan warga untuk berpikir jernih.

Dan jadilah baru-baru ini mereka ‘memilih’ pasangan hebat, dua orang pria yang datang, entah dari mana. 

Sekarang ijinkan saya memperkenalkan mereka – dua orang ‘pahlawan’ yang diharapkan oleh warga yang sudah putus asa ini untuk menghentikan kebusukan dan memulai perjuangan epik demi kelangsungan hidup dan kejayaan Jakarta. 

Gubernur Jakarta yang baru ini sebenarnya bukanlah seorang dengan latar belakang perencanaan kota ataupun arsitektur, ia hanyalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang properti dan mebel. Namun kemudian ia melayani sebagai walikota Solo, Jawa Tengah. Namanya Joko Widodo, dan seringkali disebut Jokowi. Dalam dongeng Indonesia yang terkini, dia adalah koboi sang tokoh utama, atau seorang samurai ternama, seorang pembebas, atau apapun ia layak disebut.. 

Wakilnya, yang dikenal dengan ledakan amarah dan pernyataannya yang seringkali mengejutkan, adalah mantan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Namanya Basuki Cahaya Purnama. 

Satu-satunya modal Jokowi dalam memimpin salah satu kota terbesar di dunia adalah perjalanan bisnisnya ke Eropa, di mana ia benar-benar ‘mengagumi kota-kota tersebut’ dan ingin mewujudkan konsep tersebut pada sistem perkotaan Indonesia. Dia pun telah berhasil membersihkan beberapa ruas jalan utama di Solo, -‘bersih’ sesuai standar Indonesia tentunya, saat masih menjabat sebagai walikota di sana. 

Tentu ada pencapaian lainnya yang dilakukan oleh Jokowi, seperti: di Solo paling tidak dia sudah membangun satu trotoar bagi pejalan kaki di tengah kota. Jangan ditertawakan: hal itu sebenarnya adalah sebuah pencapaian hebat yang bisa dilakukan, karena ini adalah negara di mana trotoar yang ‘layak’ justru dihalang-halangi pembangunannya oleh para penguasa, bahkan di sebagian tempat justru difungsikan sebagai area parkir.

Dia juga mengoperasikan tram khusus turis di Solo yang dijalankan sekali waktu di atas rel tua peninggalan era kolonial Belanda: hal ini merupakan salah satu mimpinya yang menjadi nyata atas sistem transportasi publik.

"Tidak cukup", seperti itulah respon yang akan ia dapatkan di India atas apa yang sudah dia lakukan untuk Solo. India bukan juga sebuah role model sosial, namun paling tidak ia adalah negara di mana kota seperti Chennai dan Kolkata, bukan New Delhi, sudah memiliki sistem transportasi publik yang modern dan berfungsi dengan baik. "Tentu tidak cukup", kalau orang Cina yang mengatakannya. Bagaimana tidak, kalau di negara mereka paling tidak selusin dari seluruh wilayah perkotaaannya sudah bergantung pada sistem kereta bawah tanah yang ramah lingkungan, murah, tersebar di penjuru kota dan tentunya nyaman, di mana terdapat banyak trotoar luas bagi pejalan kaki, tanaman daur ulang, suplai air bersih, institusi budaya di berbagai sektor, dan bahkan taman dan ruang publik yang besar dan indah. 

Namun di Indonesia, seperti yang sering dikatakan, bahkan seseorang dengan satu mata adalah raja. Dan harapan pun tiada. Dan seperti itulah negara ini dijalankan.. 

*



Beberapa bulan yang lalu, di artikel yang lain, saya menyarankan: “Tinggalkan semua harapan yang ada waktu anda memasuki kota ini.” Saya tentu lupa menambahkan: “Tapi jangan lupa membawa masker gas dalam tasmu, dan pastikan memakai tas yang mudah dibuka sewaktu-waktu!”


Kemacetan total, yang merupakan sebuah monster yang menakutkan yang telah melebarkan tentakelnya ke seluruh pelosok jalanan Jakarta yang rusak, depresif dan sesak selama puluhan tahun, akhirnya menyekik kota ini. Banyak orang terlambat untuk meeting, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, dan kehidupan sosial pun kolaps, sebagaimana tidak ada orang yang rela duduk selama 2 jam di dalam kendaraan hanya untuk menikmati secangkir kopi.

Tetapi apa yang bisa kita rasakan sekarang, sesungguhnya hanyalah sebuah pandangan sekilas akan horor yang lebih mengerikan yang menanti. Bagaimanapun juga, lalu lintas masih perlahan melaju, kecuali ketika hujan mulai turun, atau di saat pagi hari, jam makan siang, jam pulang kantor, jam kerja, atau saat liburan. 

Rachmad Mekaniawan, seorang insinyur sipil mengatakan pada saya:

“Suatu hari saya terbang dari Balikpapan ke ibukota. Perjalanan udara tersebut menempuh waktu 1 jam 45 menit. Saya tiba di bandara Jakarta pada pukul 5.45 sore. Lalu saya putuskan untuk menaiki bis ke arah blok M. Bisnya penuh sesak, seperti yang sudah saya prediksi. Tapi yang tidak saya duga adalah perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu 30 menit, menjadi 5 jam di hari itu!”

Dua tahun lalu, JICA (Japan International Cooperation Agency) mengeluarkan sebuah studi dan memperingatkan bahwa kota ini akan lumpuh oleh kemacetan total pada tahun 2014. Ibukota dari bangsa turbo-kapitalis ini sudah rusak akibat dari ketamakan dan korupsi yang parah ("Tamak itu bagus", seperti bagaimana sering dikatakan oleh Barat. Awalnya Indonesia mampu menolak ideologi dari para elit ini di tahun 1965, dan bahkan tidak memerlukan usaha keras dalam ‘penolakannya’). Semua yang tidak mengasilkan laba harus dikesampingkan. Termasuk mendaur ulang sampah, kontrol polusi, pusat kesenian, transportasi publik, bahkan pohon-pohon rindang dan taman kota.

*

Akhir dari korupsi yang berkepanjangan, transparansi, dan pemerintahan yang bersih. Itu semua adalah gol utama dari perjuangan Jokowi dan wakilnya. Mereka juga menjanjikan beberapa sistem transportasi umum yang terintegrasi, bahkan dilengkapi dengan tram, monorel dan MRT.

Namun semua ini masih berada dalam tahap slogan yang belum kelihatan wujudnya: maklum saja, ini adalah salah satu tipikal dunia angan-angan ala Indonesia. Kelihatan terlalu indah untuk menjadi kenyataan - seperti dongeng, seperti yang sering kita lihat di program televisi lokal atau kartun-kartun Disney. 

Dua hari yang lalu, saya diundang dalam jamuan makan oleh seorang businessman Indonesia yang sukses, yang sekarang tinggal di luar negri. Dia bisa dibilang cukup dekat, atau bahkan mungkin bagian dari para elit politik dan bisnis di negara ini, yang juga di waktu yang sama terus mengkritisi kondisi negaranya. Sebagai seorang yang cukup gemar mengikuti tulisan-tulisan saya tentang Indonesia, dia menyadari bahwa saya sedang berada di Jakarta saat itu dan mengundang saya ke sebuah restoran hidangan laut Cina untuk kami bertemu di sana.

Dengan segera saya mengetahui bahwa tujuannya mengajak saya bertemu sebenarnya untuk memberi saya banyak ‘informasi dalam’, dan bukan sekedar ingin menjamu saya dengan udang dan kerang. Dia bercerita mengenai kefrustrasiannya; dia juga memberi tahu saya beberapa data yang cukup konfidential. Namun sebagai gantinya, saya harus berjanji tidak akan mengumbar nama orang dan perusahaan yang ia sebutkan.

“’Orang dalam’ yang bekerja di salah sebuah perusahaan mobil terbesar di Indonesia baru baru ini berkata pada saya bahwa atasannya membayar beberapa juta dollar dalam biaya tahunan, yang bisa disebut juga ‘gaji tahunan’, dalam rangka mencegah atau setidaknya menunda tanpa batas waktu, semua proyek transportasi umum utama di kota ini. Bahkan dulu di tahun 1992, pembayaran untuk kasus semacam ini yang ditujukan pada pemerintah sudah bernilai sekitar 10 juta dollar.”

Lalu dia melanjutkan: “Pemiliknya sendiri bahkan berkata pada saya: ‘Tidak akan mungkin ada MRT di Jakarta, tidak akan pernah.. kecuali hingga benar-benar seluruh Jakarta ini macet dan mampet total’. Yang dihalang-halangi tidak hanya itu, namun juga pembangunan trotoar, dan apapun yang bersaing dengan mobil. Tujuan utamanya adalah supaya negara ini dibanjiri dengan mobil-mobil baru dan sepeda motor, sehingga bangsa ini sepenuhnya bergantung pada kendaraan pribadi. ‘Satu perusahaan mobil asing’ yang beroperasi di Indonesia ini terlibat dalam korupsi besar-besaran, di mana perusahaan mobil lainnya pun terlibat, hanya saja dalam jumlah yang lebih kecil."

Sambil berpisah ia menambahkan, “Banyak orang sudah tidak sanggup hidup di kota ini lagi. Anda tahu, saya rasa situasi ini sudah sedemikian buruknya bahkan hingga misalnya ada sebuah tim yang beranggotakan politikus dan pengusaha yang benar-benar bersih untuk memerintah Indonesia besok, tetap saja akan membutuhkan waktu 3 generasi untuk mengubah kondisi di sini..”

Hampir semua kaum elit Indonesia tidak tinggal di sini lagi. Kebanyakan dari mereka kalau tidak menjalankan usahanya dari luar negeri, atau bolak-balik dari luar ke dalam negri. Tidak perlu repor-repot menganalisa secara rumit korupsi yang ada dan menghubungkannya dengan subsidi bahan bakar atau lahan parkir. Korupsi di Indonesia tersebar di mana-mana, ia endemis dan melumpuhkan seluruh kota. Kepentingan pribadi selalu menjadi yang harus diutamakan bahkan di atas kepentingan publik. Di mana 1% orang hidup bergelimang harta, menghabiskan jutaan uang yang dicuri dari bangsa sendiri, dan 90% warga Indonesia lainnya tinggal dalam kebobrokan dan sengsara. 

Bulan lalu, di bandara Istanbul, saya bertemu dengan seorang wanita – nampaknya yang berasal dari kumpulan istri-istri pengusaha sangat kaya Indonesia – sedang mengeluhkan tidak adanya satu pun daerah laut yang layak di Indonesia. Ia mengatakan pada saya, sambil menunjukkan kulitnya yang kecoklatan hasil berjemur, bahwa ia baru saja menghabiskan 2 bulan mengarungi Laut Mediterania. Ketika saya coba menjelaskan kepadanya mengenai buku yang saya tulis tentang negaranya, dan film apa saja yang sedang saya kerjakan, dia tidak dapat memahaminya. Menurutnya orang asing seharusnya berbicara soal gadis-gadis Indonesia, resort di Bali dan pesta-pesta liar, bukannya ocehan ala Bolshevik seperti ini!

*

Mari kembali ke korupsi.

Tidak ada satupun yang bergerak di sini. Anda tidak akan bisa terhindar dari becak-motor 2-tak dari India itu –Bajaj-; yang modelnya sudah kuno, yang bahkan tidak lagi dapat dijumpai di India sendiri! Kelompok militer tertentu, polisi atau ‘kepentingan’ lain selalu ada di belakang setiap operasi mereka. Sama halnya dengan para kopaja dan metro mini yang kotor dan membuat polusi itu. Pemerintah hanya bisa melakukan usaha sekadar mengancam, untuk sementara waktu, namun kemudian tidak lama kondisi pun kembali seperti semula: sungguh sebuah skenario yang sudah bisa ditebak.

Iklan-iklan industri tembakau terpapar di seluruh pojok jalan. Setiap pria muda dan dewasa, nampaknya, merokok, di kota yang padahal sudah sangat kotor dan terpolusi ini: di jalanan, di dalam bis-bis bobrok, bahkan di dalam mall. Peraturan ditetapkan, namun hanya untuk dilanggar. Industri tembakau di Indonesia sangat kuat dan besar, dan anehnya mereka pun memiliki lahan hijau yang tersisa di ibukota. Juga bahkan memiliki sejumlah ‘anggota DPR’, yang seharusnya menjadi wakil rakyat. 

Di bulan kedua masa pemerintahan Jokowi, iklan-iklan rokok dalam ukuran besar masih menjadi dekorasi di kota ini. Dan tentu mereka akan tetap berada di sana pada saat ia tidak lagi memerintah ibukota. Bahkan di Plaza Indonesia, salah satu mall mewah di Jakarta, asap rokok tersembul tebal hampir di setiap cafe. Hal ini tidak masuk akal bila teraplikasi di kota-kota Asia Tenggara lainnya, mulai dari Singapura yang kaya raya bahkan hingga Manila yang miskin. Tapi di Jakarta, hal ini biasa. Normal. 

Bahkan orang-orang asing yang tinggal di Jakarta, mengatakan kota ini adalah kota yang paling tidak layak ditinggali di Asia Pasifik.

*

Gubernur baru itu menjanjikan upah minimum tenaga kerja yang lebih tinggi. Dikatakannya bahwa sekarang upah minimum adalah 2,2 juta per bulan. Angka ini bahkan lebih tinggi daripada upah minimum di Ukraina dan bahkan Bulgaria (1,5 juta per bulan), negara yang adalah anggota dari Uni Eropa.

Pada 20 November 2012, Jakarta Globe menuliskan:

"Gubernur Jakarta Joko Widodo menyetujui kenaikan upah minimum tenaga kerja sebesar 44 percent pada hari Selasa, dalam apa yang dilihat sebagai langkah besar dalam melobi para pengusaha di Indonesia. Hal ini sudah ditetapkan bahwa angkanya adalah 2,2 juta rupiah,” kata Jokowi pada Detik.com. “Saya sudah memukul palunya.”

Namun berapa banyak orang yang bisa berharap mendapatkan upah minimum tersebut? Mayoritas besar warga Indonesia bekerja pada sektor informal, di mana upah yang didapat bisa serendah 300.000 atau 400.000 rupiah; di mana ‘puluhan juta’ itu tidak akan pernah bisa diraih. Seorang ahli statistik dari Kanada menjelaskan kepada saya, saat pemerintah dengan keras kepala menetapkan angka sensus penduduk pada kisaran 237 hingga 250 juta, jumlah yang akurat adalah sekitar 300 juta atau bahkan lebih. Mereka yang tak terhitung adalah mereka yang sangat miskin. Orang-orang itu adalah mereka yang bahkan seringkali tidak berpenghasilan sama sekali, bekerja dan hidup dalam kondisi paling buruk seperti di masa feodal pre-industrial.

Tepat pada saat kenaikan upah tenaga kerja disetujui, saya turun ke jalanan-jalanan di Jakarta dan menanyakan pertanyaan yang sama: apakah para pekerja itu mendapatkan upah minimum? Benarkah mereka sungguh-sungguh mendapatkannya?

Ya, mereka yang bekerja di restoran-restoran besar, atau di perusahaan swasta, dan juga yang bekerja sebagai pegawai negri sipil. Namun angkanya tidak mencapai seperempat dari seluruh pekerja di ibukota ini.

“Upah minimum?” tanya seorang pekerja di sebuah workshop mebel di daerah Klender, Jakarta Timur. “Saya dibayar berdasarkan jumlah mebel yang saya kerjakan. Kalau saya bekerja sampai mau mati rasanya, saya bisa membawa pulang 2 juta rupiah per bulan, namun biasanya tidak mungkin saya bisa memperoleh sebanyak itu.”

Siti, yang bekerja di sebuah pabrik garmen Korea menjelaskan, “Banyak pekerja di dan sekitar Jakarta menghasilkan sekitar 2.500 rupiah per jamnya. Jika kami bekerja 10 jam per hari, kami dibayar 25.000. Dengan begitu kami bisa mendapatkan kira-kira 700.000 rupiah per bulan, atau mungkin kurang. Ketika pengawas datang, para pekerja biasanya dikunci di dalam sebuah ruang gelap sehingga tidak ada satupun dari kami yang bisa ‘melapor’. Suatu ketika, saya dan seorang teman sedang berada di kamar mandi ketika seorang pengawas datang. Mereka lalu menanyakan pada kami mengenai upah kami. Dengan sendirinya kami tahu kami harus berbohong, pura-pura bahwa kami dibayar layak dan bahkan jauh lebih banyak daripada realita yang kami terima. Kalau ketahuan mengatakan yang sebenarnya bisa-bisa kami justru dipecat.”

Lupakan data statistik resmi yang mengatakan bahwa separuh penduduk kota ini adalah kelas menengah ke atas (di sini indikator kelas menengah ke atas adalah penghasilan 20.000 rupaih per hari). Dan mulailah percayai apa yang anda lihat dengan mata kepala sendiri: kemiskinan yang anda lihat di mana-mana, sampah yang menggunung dan berserakan, sungai-sungai yang mampet, tidak tersedianya ruang publik dan trotoar, Ferarri dan Porsche di atas jalanan yang rusak, mall-mall yang tak terhitung jumlahnya yang seolah tidak memedulikan kampung-kampung kecil yang kumuh dan jauh dari standar kelayakan di sekitarnya, desa-desa yang penduduknya bahkan ngos-ngos’an untuk sekedar menyambung hidup di tengah kota yang bergelimang glamor ini. 

*

Tepat ketika nampaknya tidak ada lagi harapan, hanya kegelapan dan kesuraman menguasai, tiba-tiba terlihat secercah cahaya! Dua pria, gubernur yang baru dan wakilnya, memasuki kota Jakarta dengan kuda-kuda mereka, dengan pistol menggantung dan seperti pada era Barat kuno, mata mereka bersinar memancarkan semangat dan kehormatan.

Tapi benarkah seperti itu?

Para media mainstream ingin orang-orang percaya bahwa mereka dipilih dan terpilih tanpa ada campur tangan kepentingan para kaum elit. Yang di mana hal semacam itu, mustahil. Di Indonesia semua hal tunduk pada kepentingan bisnis-militer-bisnis. Bagaimana bisa rakyat dibodohi seperti ini? Apakah karena semenjak peristiwa 1965 mereka dikondisikan untuk tidak mampu menganalisa dan berpikir secara mandiri?

Dan apakah pencapaian yang sudah dilakukan oleh pasangan ini semenjak masa pemerintahan mereka dimulai?

Wakil Gubernur Jakarta, Basuki T. Purnama (yang lebih dikenal sebagai Ahok), dalam rapat resmi pada 8 November 2012 mengemukakan, dengan lantang dan mengejek semua yang ada dalam ruangan itu:

“Sebelum kita mulai, bisakah seluruh anggaran ini dipotong 25%? Harga per unit yang anda punya di sini terlalu tinggi. Hanya ada dua cara untuk menyelesaikannya: 1.) Potong anggaran sebesar 25% tanpa mendebat saya. Atau 2.) Saya akan menghapus proyek ini dari portfolio anda. Saya akan menggunakan dana pribadi saya, kemudian akan saya cocokkan dengan proyek yang lalu. Saya akan mengungkapkan semua ‘penyakit lama’, saya akan minta bantuan KPK juga. Mari kita sambut ‘Jakarta Baru!’.”

Perhatikan bahasanya.. Anda pasti tahu istilah ‘anjing menggonggong’.. Jika anda benar-benar menginginkan perubahan di kota anda, dan menginvestigasi kasus-kasus korupsi yang begitu parah, apakah anda akan berteriak-teriak di depan semua orang yang anda curigai sebagai koruptor-koruptor? Atau justru anda mencoba menangkap basah mereka ketika perbuatan itu sedang dilakukan?

Namun Ahok bertindak lebih jauh lagi, dan membuat adegan ini benar-benar seperti dalam film koboi sungguhan:

“Bila ada orang yang ingin membunuh saya, akan sangat mudah sekali melakukannya.. Saya tidak tahu siapa yang akan mencoba melakukannya.. Saya memiliki banyak musuk.. Jika seseorang mencoba menembak saya point blank, saya bahkan tidak akan berkedip.”

Seseorang seharusnya segera memeluknya dan berkata, “Ahok, begini, tidak akan ada orang yang menembak anda.. Anda tahu.. Anda tidak akan berada di sini sekarang.. ‘Mereka’, para ‘pemerintah’ negara ini, tidak akan pernah membiarkan anda terpilih bila anda dan atasan anda tidak ‘lolos’ dalam pemeriksaan berlapis-lapis yang menyatakan keberadaan dan kekuasaan anda tidak mengancam rezim tersebut. Atau anda meminta kami untuk percaya bahwa para kandidat benar-benar muncul secara independen, dan rakyat akan memilih mereka begitu saja? Begitu? Di Venezuela, tentu.. Tapi di Indonesia, Ahok sayang? Sunnguhkan itu bisa terjadi?”

Seakan mengkonfirmasi keraguan saya, beberapa minggu setelah diangkat, Jokowi mendadak berakting seolah-olah ia adalah aparat terpercaya dari rezim pemerintahan Indonesia. Yang dikatakan pada saya di restoran Cina itu ternyata terbukti benar, bahkan saya tidak pernah meragukannya. 

Ia mengemukakan bahwa ia menunda konstruksi pembangunan MRT. Ia ‘menaruh proyek ini dalam pengawasan yang teliti’ dan jelas jadinya bahwa dalam beberapa waktu ke depan Jakarta akan tetap menjadi kota yang dalam ukurannya menurut skala dunia, tidak memiliki metro. Salah satu alasan yang dikemukakan olehnya, yang mengklaim ia mengerjakan ini semua demi kepentingan rakyat, adalah bahwa ia tidak yakin berapa dana yang sebenarnya dibutuhkan untuk proyek ini bisa terwujud!

Angki Hermawan, seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tinggal di Jakarta dan Calgary, Kanada, mengomentari dalam laporannya:

“Menurut pendapat saya, tindakan Jokowi aneh sekali! Dia mengatakan bahwa proyek MRT ini akan dilaksanakan atau tidak bergantung pada ROI (Return On Investment), karena kalau tidak Jakarta bisa-bisa bangkrut. Pernyataan ini sungguh absurd karena di belahan dunia manapun, MRT adalah tulang punggung transportasi publik, kecuali sebuah kota memiliki kurang dari 1 juta penduduk. MRT di Jakarta adalah sebuah keharusan! Dan coba lihat apa yang dia katakan? Bahwa ROI dari MRT harus memenuhi syarat? Bagaimana mungkin Jokowi tiba-tiba bertindak seperti seorang pengusaha berpikiran sempit? ROI sebuah project yang akan bermanfaat bagi banyak orang tidak bisa disamakan dengan ROI yang murni untuk bisnis. Cara mengkalkulasi keuntungannya harus berdasarkan manfaat yang dirasakan secara sosial dan bukannya uang.”

Namun pun bila nilai-nilai ekonomi secara ketat dijalankan, Jakarta membutuhkan pemeriksaan secara menyeluruh akan sistem transportasinya, sebagaimana yang ada sekarang justru mengakibatkan kerugian $3 milyar per tahun yang disebabkan oleh kemacetan.

Jadi kembali lagi ke sebagaimana biasanya: tanpa rasionalitas, hanya beberapa pertimbangan ‘rahasia’ dan tidak transparan.

Dan pembangunan MRT pun tertunda lagi. Dan pilar-pilar beton menyedihkan serta batangan-batangan metal yang seharusnya digunakan untuk pembangunan monorel – proyek yang terkorupsi dan dibatalkan bertahun-tahun lalu, di mana dana yang dikucurkan tidak sedikit, wajah jalanan kota yang sudah tergores, dan tidak ada yang dipenjarakan karena kasus korupsinya – masih di sana, berdiri tegak selayaknya para kaum elit lokal ‘menyapa’ warga Jakarta.

Dan bagaimana dengan rencana Ahok untuk menghidupkan kembali kawasan kota tua yang semrawut itu?

“Bila kita ingin mengembangkan kawasan tersebut, kita harus meningkatkan segala aspek di dalamnya,” Kata Ahok. “..Kota Tua harus dibuat mahal dan bergengsi supaya bisa berkembang.” Begitu yang Jakarta Globe laporkan.

Jelas sekali bahwa ia tidak akan meminta bantuan UNESCO untuk mengembangkannya, seperti yang dilakukan oleh Hanoi misalnya. Justru mungkin ia akan meminta bantuan Gucci, LV, atau Lamborghini.

*


Saya sudah melihat beberapa ‘usaha’ untuk menyelamatkan kota-kota di Indonesia. Banyak dari mereka yang sangat menyedihkan hingga seakan-akan usaha tersebut seperti seorang anak berumur 5 tahun yang berkata kepada orang tuanya: “Saya mau membuat sebuah pesawat yang bisa terbang. Saya sudah punya 2 batang kayu sebagai sayapnya. Dan sebuah plastik untuk menjadi badan pesawatnya..”

Semua kota di Indonesia bisa dikatakan rusak. Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Semarang bahkan Yogyakarta. Akan membutuhkan puluhan tahun dan usaha yang benar-benar keras untuk membawa mereka paling tidak kepada standar Asia Pasifik.

Dua tahun lalu, saya bertemu dengan walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini. Dia masih sangan populer kala itu, masih banyak harapan yang bisa dimimpikan. Dia menjanjikan pemerintahan yang bersih dan perubahan infrastruktur yang dramatis. 

Saya bertanya pada beliau apakah ia memiliki nyali untuk mengkonfrontasi kasus-kasus korupsi, parkir liar kendaraan dan hal-hal patologi lain di kota tersebesar kedua di Indonesia ini. Seorang wanita yang jujur, seorang Muslim yang berkerudung, ia nampaknya tidak ingin berbohong kepada saya. Dengan halus ia menolak untuk menjawab.

Malahan ia bercerita kepada saya mengenai kecintaannya terhadap flora dan tanaman. Ia menunjukkan kepada saya foto-foto dan menjelaskan bahwa ia sudah berkeliling di seluruh pelosok kota, menanam banyak pohon, mengubah lahan kosong menjadi taman kota. Bahkan terkadang ia melakukannya sendiri.

Ia orang yang sangat baik, itu yang saya ingat. Saya menyukai dia, bahkan sangat menyukai dia. Saya akan senang sekali menjadi tetangganya. Namun kota Ibu Risma ini sedang terluka dan berdarah, tanpa sistem transportasi yang baik kecuali angkot-angkot bau dan privat, hampir tanpa situs-situs budaya dan intelektual, tanpa perencanaan kota yang jelas dan lagi-lagi.. tanpa harapan.

Ketika kami berpisah, beliau mengundang saya untuk datang dan bertemu dengannya lagi kapanpun saya kembali ke kotanya.

Saya kembali September ini, dan jujur saja, saya tidak melihat perubahan yang konkrit. Surabaya memang terlihat lebih bersih, ada beberapa trotoar besar dan lapang bagi pejalan kaki di jalanan utama dan juga beberapa taman kota kecil. Tapi itu saja. Surabaya masih tersedak oleh kemacetan, tidak ada tempat lain untuk dikunjungi di sore hari kecuali mall.

Saya memutuskan untuk tidak menemui Ibu Rismaharini. Apa yang akan saya katakan? Apa yang harus saya tanyakan? Akan sangat memalukan pertemuan kami nantinya!

*

Pada 20 November 2012, saya mempertontonkan film dokumenter saya tentang Dadaab –“One Flew Over Dadaab”; di Universitas Indonesia, dan lalu membicarakan tentang kehancuran negara ini. Salah satu mahasiswa kemudian bertanya kepada saya: “Lalu apa yang bisa kami lakukan? Bagaimana caranya menyelamatkan Indonesia?”

Saya menjawab bahwa saya tidak bisa memutuskan bagaimana cara; ini adalah negaranya – bukan negara saya. Saya tidak bisa menyembuhkan, saya hanya membantu mendiagnosa. 

Namun siang itu saya berkata pada mereka, para mahasiswa dan professor yang ada di sana, mengenai kolaborasi antara kaum elit mereka dan militer dengan campur tangan Amerika dan Eropa. Saya menceritakan pada mereka bagaimana Indonesia sangat dicintai oleh Barat, oleh kaum ekonomi elit Barat dan rezim politik Amerika dan Eropa. “Rakyat Indonesia ini kelaparan, mereka sudah kehilangan semuanya, namun dengan murah hati mereka masih saja memberi makan kaum Barat. Mereka mengorbankan segalanya demi kesejahteraan Amerika, dan juga perusahaan-perusahaan multi-nasional lainnya.”

Saya juga menjelaskan pada mereka bahwa selama mereka menghancurkan hutan-hutan yang ada, menambang habis apa yang tersisa di lapisan bumi di atas negara ini, mengkonsumsi produk asing dan tidak melakukan apapun demi kesejahteraan rakyatnya sendiri, Indonesia akan tetap disebut ‘demokratis’, ‘toleran’ dan bahkan ‘sukses’.

“Negara anda sudah dikolonisasi dan dirusak oleh Eropa; lalu dihancurkan oleh kudeta yang didukung oleh Amerika di tahun 1965 dan oleh sistem kapitalis liar. Kader jihad yang juga melangsungkan pembunuhan pada 1965 dan berperang demi Barat di Afganistan sekarang sedang menghancurkan sisa-sisa semangat sekuler di era Sukarno.”

“Dan lalu kaum ‘oposisi’ kalian, rakyat ‘sipil’ itu: ke mana mereka mencari pertolongan? Kita semua tahu: Mereka kembali lagi kepada Barat! Mereka berpergiaan antara Jakarta dan Amsterdan, antara Jakarta dan Berlin, London, New York! Mereka mendapatkan semua pendanaannya di sana. Apakah anda yakin dan dengan polos berpikir bahwa Barat akan mendanai kaum oposisi demi kepentingan ekonomi dan geo-politik? Yang benar saja!”

Saat itu saya berbicara di universitas yang menempatkan sistem kapitalis paling parah, semenjak 1965; universitas yang berkolaborasi penuh dengan Von Hayek dan konsep ekonomi Friedman tentang sistem kapitalis yang tidak diawasi dan tidak terlarang. Universitas yang pada dasarnya sudah ‘dibeli’ oleh Barat, guna mengimplementasikan apa yang Naomi Klein sebut sebagai “Shock Doctrine”, untuk diujicobakan langsung pada manusia. 

Mereka mengijinkan saya untuk berbicara. Namun saya sadar bahwa tidak ada satupun yang benar-benar peduli, tidak ada satupun yang takut mendengar apa yang saya sampaikan. Apa yang saya utarakan saat itu, hanya terserap oleh dinding-dinding universitas. Kehadiran saya tampaknya hanyalah sebuah pertujukan ‘badut’. 

Seseorang kemudian bertanya lagi tentang "bagaimana merubah kondisi yang ada sekarang?" Semua tokoh-tokoh besar yang saya kenal, mulai dari Eduardo Galeano hingga Pramoedya Ananta Toer langsung alergi dengan pertanyaan semacam itu, dan juga saya, akhir-akhir ini. 

Saya mengingatkan mereka akan kata-kata terakhir dari mendiang Ananta Toer, novelis terhebat di Asia Tenggara, yang dikatakannya kepada saya. Ia adalah seorang tahanan di masa pemerintahan Suharto, seorang penulis yang karya-karyanya dibakar habis, yang disisihkan dan sepanjang hidupnya memiliki kepahitan akan negara ini:

“Bukan reformasi – revolusi!” Diproklamasikannya dengan lantang di depan lensa kamera saya. “Indonesia tidak akan pernah bisa berubah melalui sebuah reformasi, hanya dengan revolusi!”

Menunggangi kuda kayunya, Jokowi dan wakilnya tidak mengusung janji revolusioner apa-apa. Coba lihat lebih dekat pistol plastik produksi massal mereka; dengarkan baik-baik kalimat-kalimat mereka. 

Jokowi bukanlah seorang Hugo Chavez versi Indonesia, atau Evo Morales, Lula atau Ho Chi Minh.

Saya sendiri sebenarnya tidak tahu siapa dia. Saya hanya tahu dia bukan siapa. 


***



*Artikel ini dimuat di buletin berita Amerika Serikat, Counterpunch, dengan judul ”Governor Jokowi Enters Jakarta On A Wooden Horse”, edisi 23-25 November 2012.
Link ke artikel asli: http://www.counterpunch.org/2012/11/23/governor-jokowi-enters-jakarta-on-a-wooden-horse/

Andre Vltchek adalah seorang penulis novel, analis politik, pembuat film dan jurnalis investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Ia juga menulis sebuah novel politik yang baru saja dirilis kembali, “Point of No Return”, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diskusinya dengan Noam Chomsky mengenai teror yang dilakukan oleh kaum Barat di seluruh dunia baru saja diterbitkan, “On Western Terrorism”. Penerbit Pluto di Inggris juga telah menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago of Fear”) di bulan Agustus 2012. Terjemahan buku ini 'Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara' akan diterbitkan segera oleh penerbit Badak Merah. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya di http://andrevltchek.weebly.com/ atau akun Twitternya, @AndreVltchek.












Sunday Market

Last Sunday I went to this temporary event named 'Sunday Market' at Surabaya Town Square. I heard from here and there that this so-called 'hipster' event was an imitation of a similar event in Jakarta, Brightspot Market. A three-days market where young Indonesian creative entrepreneurs poured into one large but crowded space, selling their indie stuffs, which mostly about fashion and some homemade sweets. I think this Sunday Market event was trying to copy the concept and revive this 'culture' in Surabaya.

When I arrived at Sutos (that's how we called it here, the Surabaya Town Square), I expected some 'cool' crowd showing their own identity, unique, different from one another, and where young entrepreneurs selling good made-in-Indonesia stuffs. Just like what I experienced in Brightspot Market, where there, in Jakarta, it was considered a prestigious event.
Well I saw some and felt proud of it. Yet what I got in a larger perspective was a bunch of youth, smoking, dressing the same one to another, no 'artsy' talks between them or exchanging ideas on how to change Indonesia to be a better progressive society. Instead I saw some kids playing cards on one corner, blowing their money on cigarettes, or some just standing there 'enjoying' some distracted noise sung by the unknown performers on the stage.

Then I walked to another part of the area. A graffiti and mural exhibition. The title of the exhibition was 'Go Home You're Drunk'. And suddenly another disappointment fell to place.

I used to know how graffiti and mural movement was started to be a street media to fight against unfairness of authority, to bring justice to poor people, or to spread revolutionary messaged everywhere so people can see, read and be motivated.
It carried messages.
It was there because it was meant to tell something.
Something worth spreading.
Something which intended to bring change, and a better future.





 But what I saw last night was nothing but decorated colorful emptiness.
I did not even understand what they were trying to say through their so-called art.

Isn't it our obligation as a human being, or moreover as a citizen of a country to use all our talents and abilities to produce something good which not only ends up at our own self-fame or existentialist expressions?

I remember what a respective senior Indonesian painter, Djokopekik, said to me in his studio in Jogjakarta, once after he finished sharing his ideology of art to some students visiting his place. He said to me, "I told those kids to understand that they can speak not only by their mouths. If they are an artist, then it means they have to speak through their arts, their creations.
We are all a messenger. Even our lives have to continually bring messages to other people. It's like breathing. You inhale, but also exhale.. It's how you live."

Djokopekik and his recent painting, titled 'Trance'. Telling about our sick governments who are supposed to govern with fairness and justice, yet being in 'trance' of greediness and hypocrisy, and leaving Indonesia hopeless.  

In my opinion, some of those street artists that night, painted with the hope not so this country can be slowly turned into a better place by what they painted, instead I believe with a greater hope to get famous and at the end pleasing those 'possible-buyers' and get some money out of it.

While there are a lot of other things they can paint to raise other fellow young generations' awareness and compassion for this country:
Our brothers in Papua, people fighting for freedom in Aceh, the propaganda for upcoming president election, and many other 'more-important' things than just a lame message to show that you are drunk and you should go home (?!)

Again I remember what the great Argentine painter, Alberto Bruzzone, once said, "I cannot paint flowers or motherhood, when (I know there are) my students being killed om the streets!".

Can you paint all of these empty mess when you know there is genocide going on now in Papua? Or when you remember there are a lot of Indonesian children are not even sure whether they can go to school tomorrow or not because their parents never get the BLT which supposed to be their rights but greedily eaten by those corrupted governments?

Can you even think about the title of your 'supposed-to-be-carrying-a-message' mural-graffiti: "Save The World, Kill Yourself"?
What does that even mean?


That night..
I stepped away slowly from the depressing exhibition area.
My mind wandered to that afternoon I spent at Djo's studio, surrounded by magnificent artworks endlessly telling me about the conditions of Indonesia, about the fighting spirit of our previous national heroes.
Burning my heart filling my soul with the calling to do something for this country.. not for one own's fame or money.

That night..
I hoped Indonesia still had a hope.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...