Imajinasi / Imagination

Saya punya sebuah imajinasi konstan.

Di atas sebuah bukit kecil yang menghadap ke pemandangan cahaya lampu kota malam, saya duduk bersama dengan seorang asing yang saya tidak pernah kenal. Kami duduk di sana berdampingan, menatap diam dan jauh ke arah pudarnya kerlip kota. Saya tidak tahu siapa namanya, dia juga tidak tahu berapa usia saya. Kami hanya duduk di sana, menikmati kehadiran tenang satu sama lain. Tanpa pertanyaan, tanpa prasangka.

Malam itu begitu teduh. Kesunyian kami rayakan dengan tarian para bintang di pekatnya langit. Sesekali tawa pelan menemani, sembari kasarnya rumput hijau menggelitik punggung tangan kami.
Tidak ada percakapan yang berarti malam itu. Yang kami bagi hanyalah kebersamaan dan keteduhan malam yang penuh ilusi.
Sebelum subuh menyapa, saya berpamitan. Tidak dengan ucapan ‘selamat tinggal’, namun lontaran pertanyaan yang sudah berakumulasi sepanjang malam.

“Apa itu kehidupan?”
Dia diam. Matanya menerawang lurus tajam, lalu ia tertawa pelan. Dengan matanya yang penuh senyum, ia menoleh ke arah saya. Menatap dan mempelajari raut muka saya dalam jeda tenang, lalu menjawab dengan sebuah ekspresi senang namun tanpa henti, “Saya tidak tahu..”
Lalu ia tertawa dan kembali merebahkan pandangannya kembali ke gerlapnya malam.
Saya diam sejenak. Lalu sambil beralih pelan saya beranjak dari sana, membelakangi si asing, dan meninggalkan bukit sakral itu. Saya berjalan menjauh dengan kuluman senyum puas, seakan telah menjalani sebuah hari yang penuh.
Saya pulang membawa suatu kenangan akan percakapan terbaik yang yang pernah terjadi dalam hidup saya.

(personal photo collection, 2011)

----

Pagi ini saya dikejutkan oleh kiriman BBM seorang teman lama. Dia mengabarkan dia sedang mengandung anak pertamanya. Sudah 3 bulan usianya. Tentu saya ikut senang. Dan tentu itulah salah satu ‘pencapaian’ baik lainnya sebagai pasangan yang sudah menikah dalam kalangan sosial normal ini.
Tapi kemudian sebuah percakapan mulai muncul dalam benak saya.
“Apakah itu yang namanya kehidupan?”
“Tidak, itu siklus kehidupan. Tapi itu bukan kehidupan.”
“Namun menikah dan memiliki anak, itu definisi kehidupan normal.”
“Itu bukan definisi kehidupan. Itu rutinitas kehidupan. Lagipula, apa itu normal? Bagaimana kamu yakin itu disebut normal? Normal di mana dan untuk siapa?”

Percakapan ini lalu terhenti.
Pesan BBM lain masuk, kabar gembira lain menghampiri. Seorang teman mengabarkan dia baru saja dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, dengan gaji dua kali lipat. Dia bersyukur. Dia ingin saya ikut senang.
Tentu saja saya ikut senang. Dia akhirnya bisa mendapat kehidupan yang lebih baik.
“Tapi kemudian apa? Apakah bertambahnya penghasilan akan berarti menambah arti hidupnya?”

Beberapa teman yang sempat saya lontari pertanyaan mengenai misteri kehidupan selalu berakhir dengan tawa dangkal, “Kehidupan bukan untuk dipertanyakan sayang, kehidupan itu untuk dinikmati.”

Apanya yang dinikmati?
Kebanggaan akan fakta bahwa dia mampu menghabiskan jutaan rupiah dalam semalam untuk sebuah acara makan malam privat sedangkan tidak jauh dari sana ada sekumpulan anak-anak kecil yang gembira karena malam itu mereka bisa makan sebuah roti keras dan dingin bersama-sama?

Atau perasaan puas karena sudah ‘berhasil’ membentuk imaji keluarga sempurna di mata keluarga mertua dan memenuhi aturan standar keluarga normal, di mana tidak jauh dari sana ada banyak anak kecil yang bahkan tidak akan pernah mengerti mengapa mereka harus lahir di dunia ini kalau hanya untuk ditinggalkan, ditelantarkan, dan sendirian?
---




Apa artinya hidup ‘berbahagia’ kalau itu hanya akan menjadi penegasan akan suatu kondisi kontradiksi di sisi lain tentang hidup yang tidak bahagia, atau bahkan ‘kurang beruntung’?
Apakah kenikmatan hidup artinya itu? Menikmati semua definisi glamorama kehidupan karena kesadaran bahwa ada sisi kehidupan lain yang tidak mampu bahkan untuk membayangkan kehidupan yang layak itu seperti apa.
Apakah itu artinya hidup? Berdiri dan bernafas untuk diri sendiri. Di mana kesengsaraan orang lain menjadi indikator pembanding dan alasan untuk ‘mensyukuri’ hidup ini.


Itukah hidup?


Saya lebih memilih tidak hidup kalau itu arti hidup yang harus saya jalani.






I have one peculiar imagination.
Upon a small hill overlooking the night city scenery, I am sitting with a stranger I never knew before. We are sitting side by side, gazing quietly toward the fading blinking city lights. I don’t know his name, and he doesn’t care about my age. We just sit there, sharing each other’s tranquil presence. Without any question, without any prejudice.

The night is so tender. We celebrate its silence together with the exotic dance of the stars in the middle of dark skies.
Once in a while gentle giggles come along, with the roughness of the green grass tickling the back of our hands.
There is no particular special talks that night. What we share is only the existence of each other and the gloomy night full of illusions.
Before the dawn rises, I politely send my farewell. Not with a ‘good-bye’, but by throwing him a question which has accumulated along the nightfall.

“What is life?”, I ask.
He stays in silence. His eyes gazing straightforwardly toward the city lights, then he giggles quietly. With his eyes full of smiles, he turns his face to me. Staring firmly while studying every line of my expression in serene pause, then begins to say something with his goofy face, “I don’t know either..”.
Then he laughs and back laying his gaze to the intense dark night.
I let myself stand still for a while. Then slowly moving my feet away, turning my back from the stranger and leaving the sacred hill. I walk away with a deep smile on my face, as if I have lived a full life today.
I go back carrying a memory of the best conversation ever happened in my life.
---


This morning I was shocked by a BBM message sent by one of my high school friends. She letting me know that she’s expecting her first child. 3 months old. Of course I am happy to know. And of course it is one the expected ‘achievements’ as a married couple and also by the normal society.
But later a self-conversation arises within my mind.
“Is that life?”
“No, it’s the circle of life. But it is not the life”
“But being married and having a child, is the definition of a normal life, isn’t it?”
“It is not the definition of life. It’s a routine of life. Besides, what is it to be called normal? How can you be so sure that it is normal? Normal in what term, and on whose behalf?”

The conversation then suddenly disappears.
Another BBM message arrives. Another good news comes. A friend is updating me with her new promotion to higher position with double salary. She’s grateful. She wants me to be happy for her.
Of course I am happy. She finally gets the chance to enjoy life more (by spending more).
“And then what? Is by the increasing of her income means the increasing of her meaning of life?”

Some of my friends whom I ever threw this such question to always end up with laughing at me, “Life is not supposed to be questioned, my darling”, they said. “Life is there to be enjoyed.”

What is there to be enjoyed?
The pride of the fact that you can spend hundred of millions rupiah in one night for a private dinner party celebrating your so-called good life while not too far away from the restaurant there are several homeless kids finding their simple happiness just because they can share their first meal that night, a small cold bread, together?

Or the feeling of satisfaction that you finally ‘made it!’ : creating an image of ‘perfect’ image of complete little family in front of your in-laws and filling the demanded standart of normal family rules, where not too far away from where you ‘happily’ live there are many kids who does not even understand why they have to be born in this world if that only means that they are here to be rejected, abandoned and left alone?
---


What does it mean to live ‘happily ever after’ if that’s only to confirm the opposite contradictive condition on the other side of life which is definitely far from the term ‘happy’ or even ‘lucky’?
What’s to be enjoyed about that?

Is that what you call the pleasure of life? Enjoying the definition of glamorous life because with the consciousness that there is another side of life who doesn’t even capable to imagine what a ‘normal’ life like that is worth living.

Is that what you call life? Standing still and breathing for yourself. Where other’s misery is considered as an indicator of comparison and reason to ‘be grateful’ for your thank-god-I-have-a-luckier life?

Is it?
I’d rather choose to die if that is the true meaning of life I have to live with.


1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...